Tag Archives: absurd

Sindrom Minggu Siang

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat menyadari bahwa saya tak lagi membaca semua berita yang dia tulis guna mengetahui seharian kemarin dia berada dimana dan kira-kira bersama siapa saja.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya menyadari bahwa saya tak lagi membuka profil facebooknya tiap hari guna melihat foto terbaru dirinya yang di tag oleh rekan-rekan kerjanya.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya menyadari bahwa saya sudah tidak lagi terganggu dan merindukannya saat mendengarkan lagu-lagu yang menjadi kesukaannya.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya tidak lagi gelisah di tiap malam menunggu sms yang tak kunjung datang darinya, meski hanya dua potong kata “sudah tidur?”.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya tak lagi kecewa dengan jawaban ‘tidak’ darinya, menggantikan semua jawaban ‘iya’ seperti tahun-tahun  yang lalu tiap kali saya ingin bertemu dengannya untuk membicarakan hal-hal penting atau sekadar berbagi kisah dan gelisah ditemani coklat hangat dan cahaya kunang-kunang.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya dengan berat hati bisa menerima sikapnya yang jauh berubah tanpa saya berhak tau kenapa. Tak ada lagi pesan pendek di dini hari. Tidak ada lagi senyuman yang tersungging. Tidak ada lagi kekhawatiran yang berlebihan. Tidak ada lagi lagu untuk saya. Tidak ada lagi tepukan kecil dikepala. Tidak ada lagi cerita tentang hari-harinya. Tidak ada lagi pokok-pokok doa yang dibagikan.

Saya pikir saya sudah sembuh. Saat saya menyadari bahwa sedikit demi sedikit saya sudah bisa menerima kenyataan jika dia memang seharusnya tidak perlu ada dalam kehidupan saya. Saya harus melupakannya. Sebelum semua saling menyakiti dan tersakiti.

Setelah sekian lama mencoba bertarung melawan hati dan perasaan, mencoba membangun pertahanan sekuat mungkin, mencoba membentengi diri dengan menutup semua jalur yang akan menghubungkan saya padanya, tiba-tiba saya melihat bayangannya berkelebat melalui celah-celah sempit yang seharusnya tidak terlihat oleh saya.

Saya pikir saya sudah sembuh. Namun kali ini nampaknya saya salah. Masih ada sesuatu yang berdesir lirih disini saat saya melihatnya. Masih ada bekas luka yang kembali perih. Masih ada gulungan kisah yang kembali berputar seperti layar tancap di benak. Masih ada sedih yang tertahan di dasar hati. Masih ada butiran yang menggenang di pelupuk mata. Masih ada secuil harapan tentang kemungkinan semua kembali lagi seperti semula.

Ternyata saya tidak sekuat yang saya kira. Ternyata saya belum sembuh. Ternyata saya belum mampu melupakannya.


ABSURD

Jumat sore sekitar pukul 2.30. Seorang cewek lucu dan menggemaskan (CLM) tangannya sedang asyik menari dengan lincah di atas papan kunci. Setumpuk buku tebal dan catatan ada di sisi kirinya, di sisi kanannya segelas besar air putih dan bungkus plastik berisi remah-remah roti. Tak peduli dengan rekan-rekan satu ruangan yang juga sedang sibuk sendiri-sendiri. Tiba-tiba muncullah sang pembawa (PK) kabar.

PK           : Siapa yang dapat jatah wawancara sama Ipank? orangnya udah di bawah.

Tidak ada respon. Semua masih tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Beneran tidak dengar kata-kata PK atau pura-pura saja hanya Tuhan dan orang-orang tersebut yang tau. CLM sebenarnya dengar, tapi dia ikut-ikutan pasang tampang cuek dan sok cool. Continue reading